Pages

Jumat, 20 Juli 2012

WANITA DIANTARA LEMBARAN KITAB KUNING


Adapun yang dimaksud kitab kuning ini adalah buku-buku klasik yang berisikan penjabaran-penjabaran Ulama tentang ajaran Agama Islam dengan pola pikir dan format pra modern. Tetapi dalam tulisan ini yang dimaksud dengan kitab kuning adalah tidak seluas itu. Akan tetapi adalah kitab kuning yang sering dipakai oleh kalangan Kiai dan Ulama pesantren tradisional, dengan basis pesantren, dalam pentablighan Agamanya kepada umat[1].
Dalam maksud lembaran adalah dalam dimensi garis besar antara perbedaan wanita dan laki-laki, yang dalam pandangan penulis cukup terjadi perbedaan kuat antara keduanya dalam pemahaman kitab kuning, atau dalam bahasa lain laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada wanita. Walaupun sebenarnya jika di pandang secara mutlak ada sisi lain dalam kitab kuning yang memandang wanita lebih tinggi dari pada laki-laki, berikut uraian lebih rinci dari pandangan-pandangan tersebut.
MELEBUR DALAM LELAKI
Dalam kitab kuning, ternyata sangat sekali eksplisit perbedaan antara wanita (muannas) dan lelaki (muzakkar). Salah satunya antara lain adalah, jika para lelaki pada dasarnya cukup menutup bagian tubuhnya (aurat) antara pusar dan lutut. Maka perempuan sebaliknya menutup seluruh badannya. Atau ketika lelaki sholat pada waktu sholat jahr, maka menyuarakan dengan jahr, berbeda jika hal itu wanita mereka akan tetap dengan suara rendah[2].
Yang paling unik juga masalah bahasa, dalam kitab kuning begitu membedakan antara lelaki dan wanita, dalam katagori isim, fi’il dan kata sifat. Tapi yang paling unik adalah klaim adanya dasar kesukuan kata itu ternyata lebik kepada unsure muzakkar dari pada unsure muannas,  jadi untuk mengatakan muannas itu perlu pembuktian bahwa sebuah ism atau fi’il itu muannas.
Contoh adalah unsure kata “an-Nass” dalam dimensi arti ini mengandung arti laki-laki dan wanita, akan tetapi dalam dimensi kitab kuning ini hukum lafadhnya adalah mudzakar, walaupun dalam artinya mempunyai unsur perempuan.
Superioritas itu memuncak apabila kita lihat dalam penulisan lafadh Allah, ar-Rahman, ar-Rahim, al-Qohhar, dan sebagainya, atau lafadh malaikat secara eksistansi lafadnya itu selalu menunjukkan muzakar. Serta nama Nabi-Nabi Allah itu juga menunjukkan lelaki, kecuali kalau Umat Islam berani mengatakan maryam, Mashitah, Khadijah, Rabi’ah al-Adawiyyah hendak diyakini sebagai seorang Nabi.
½  HARGA LELAKI
Sedangkan dalam kehidupan social ternyata hal ini terlihat perbedaan yang jelas antara wanita dengan perempuan, bisa dilihat dalam ketentuan fiqih kenyatan bahwa harga aqiqah bagi laki-laki itu minimal 2 ekor, sedangkan perempuan satu ekor[3].  Dalam diyat misalnya kalau laki-laki itu diyatnya seratus ekor unta maka untuk wanita adalah 50 ekor unta. Atau dalam hal menikah laki-laki boleh 4 istri sedangkan perempua harus Cuma 1 suami.
MAKHLUK DALAM NEGERI
Karena harganya yang separo, maka jangan disalahkan kalau selanjutnya dalam kitab kuning serba lelaki sebagai pemimpin, perempuan tidak boleh jadi Imam sholat. Atau mejadi pemimpin[4].
Hal inilah yang menunjukkan bahwa sebenarnya wanita kelak akan hanya sebagai wanita dalam negeri tetapi tidak dapat berkiprah secara internasional. Dalam istilah kita di luar rumah, fiqh berupaya ketat membatasi perempuan untuk keluar rumah, betapa perbedaan sangat besar itu Nampak sekali, kitab kuning pun mendukung statemen ini, yaitu statemen bahwa wanita adalah seorang makhluk dalam negeri dengan  memandang rendahnya wanita yang berkeliaran di luar rumah (bekerja), bahkan hal tersebut sampai merembet kepada konsep sholat di luar rumah, yaitu sholat di masjid, ada sebuah hadis terkenal yaitu “suasana di mana seorang wanita bisa mencapai kedekatan paling tinggi deng tuhan ketika ia tafakkur di kamarnya”.
LEBIH TINGGI DARI LAKI-LAKI
Pandangan ini berlaku ketika seorang laki-laki sebagai seorang anak dari seorang wanita, dalam sebuah hadis Nabi di jelaskan “(perkenaan Allah tergantung pada perkenaan dari kedua orang tua, dan murka Allah juga terdapan dalam murkanya kedua orang tua”. Sedangkan yang di maksud oleh kedua orang tua sebagai pihak yang paling dihormati adalah orang tua yang wanita (Ibu), baru kemudian orang tua laki-laki.
Penguat pandangan ini antara lain adalah banyak sekali ungkapan para mubaligh yang menyebutkan bahwa dalam beberapa kesempatan sebuah hadis yang menegaskan “surga itu di bawah telapak kaki ibu” sebuah hadis yang secara tersurat itu menunjukkan bahwa posisi wanita sangat tinggi di atas laki-laki dalam kontek ibu dan anak.
= DENGAN LAKI-LAKI
Dalam kitab kuning keadaaan sejajar antara laki-laki dengan wanita juga dapat kita jumpai, misalnya dalam ungkapan kedua makhluk itu dari kacamata spritualisan ketuhanan. Pendapat ini akan sangat mengemuka ketika kita menafsiri ayat al-Qur’an atau melihat tafsir al-Quran ayat yang artinya, “sungguh bahwa diantara kalian yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa”.  Dimensi arti di dalam penjelasan ayat tersebut adalah tidak ada penekanan kalau laki-laki itu lebih taqwa, akan tetapi standarnya adalah ketakwaan. Baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama. Terlihat kesejajaran dalam konteks ini.
Akan tetapi hal ini hanya secara teori dalam kitab tafsir dan fiqh. Dalam praktek lapangan dominasi laki-laki selalu lebih tinggi dari pada wanita. Tapi apakah dalam konteks modern ini  apakah hal itu tidak dapat di rubah ? dunia sudah maju, apakah wanita akan tetap sebagai makhluk dalam negeri ? ataukan ingin menjadi Srikandi yang menjadi pemegang otoritas terbaik di negeri ini. Misalnya seprti Sri Mulyani menjadi Menteri keuangan pada tahu 2010 kemaren. Atau Sri-Sri yang lain.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis berusaha menganalisa sebenarnya kitab kuning menempatkan perempuan itu tidak hanya di “bawah” tapi kitab kuning juga menghormati wanita walau sebatas teori. dan dengan membaca tulisan ini semoga para wanita di negeri ini sadar akan kedudukannya yang sebenarnya di sisi lain tinggi dari pada laki-laki dan harus berkarya lebih baik dari laki-laki. Jangan hanya yang menjadi penulis kalangan lelaki apalagi penulis kitab, dan buku, wanita mempunyai kesempatan dan waktu yang sama.




[1] Pendahuluan ini penulis kutip dari tulisa KH Masdar farid F Mashudi, tentang perempuan.
[2]  Syarbini, Muhammad. Al-Iqna fil Hall alfaz Abi Suja’, Ihya al-kutub al-Arabiyyah jilid 1. Halaman 126.
[3] Al-anshori, zakariya, fathul wahab, bandung Maarif, jilid II, halan 190.
[4] Hal ini terlihat pada fenomena beberapa tahun lalu ketika megawati maju menjadi presiden dengn mengandeng hazim muzadi, atau pilgub yang terjadi di Jawa Timur antara kubu Syaifulloah yusuf dan khovivah indar parwangsa ternyata di menangkan oleh soerkarwo dan syaifulloh yusuf. Salah satunya kampanyenya menyebutkan bahwa pemimpin itu harus laki2.

0 komentar:

Posting Komentar